[cerpen] SUATU SAAT AKU AKAN MENGERTI BUNDA

21.11.00

SUATU SAAT AKU AKAN MENGERTI BUNDA



Bunda, suatu saat aku akan mengerti, kenapa kau meninggalkanku sendirian. Aku akan menemukan banyak alasan, untuk mengerti dan memahami. Aku tidak akan marah padamu, karena aku teramat tahu, hatimu terlalu putih untuk berbuat salah.
Pagi itu udara sangat cerah, matahari pagi dibulan desember  sudah menampakan dirinya malu – malu. Angin melambai – lambai, memberikan suasana pagi yang sejuk. Tapi Susana rumah mewah ini, memancarkan hawa panasnya.
Aku melihatmu bunda, dengan koper besar itu, kau memandangku, cukup lama tetapi tidak sedikitpun menyentuhku. Lalu kau berlalu, meninggalkan istana megah ini, kau pergi sendirian bunda, tidak mengajakku atau lainya, kuliat pak Mul, supir yang biasa mengantarmu, duduk terpaku di ujung ruangan.
Bunda, aku bukan orang yang pandai membaca pikiran orang lain, tetapi dari ujung matamu, aku tahu kau ingin berkata padaku, ‘jagalah dirimu baik – baik nak!, bunda akan datang lagi nanti’.
Aku belum mengerti bunda, dengan semuanya, kucoba membaca ekspresi orang – orang disekitar kita. Karena hanya itu yang aku bisa, mulut semua orang terkunci rapat sekarang,  jadi percuma, meminta mereka berkata.
Dari pak Mul, kulihat matanya, walau tidak ada air mata, aku yakin dia sangat sedih, tidak pernah aku melihat, mata lelaki tegar itu seperti ini.
Dari Mbok Nem, pembantu yang merawatku, aku jelas melihat kalau dia sedang berusaha keras menahan air matanya.
Dari eyang, wanita karang itu, dari dulu aku tidak pernah bisa membaca apapun expresi eyang, kalau ada lomba menyembunyikan expresi, aku yakin eyang akan menjadi juaranya.
Dari papa, aku yang biasanya mudah membaca expresi papa, hari ini… tidak. Papa tidak menunjukan expresinya. Papa memandang kedepan, dengan expresi kosong.
Kala itu, usiaku baru tujuh tahun bunda, aku baru akan masuk SD, seminggu sebelumnya, kau dan papa, mengantarkanku mengikuti tes masuk SD. Sebuah SD terbaik di kota ini, kau pilihkan untukku. Aku, kau dan papa, kita berangkat dengan mobil baru yang papa belikan sebagai hadiah ulang tahunmu bunda. Masih jelas aku dalam ingatanku, expresi wajahmu, saat mendapatkan hadiah mobil itu. Kau luar biasa bahagia, “mobil impian bunda” katamu padaku, aku selalu tertawa bila melihatmu terseyum bunda, senyummu indah sekali.
Bunda, aku tidak pernah melihatmu bertengkar dengan papa, hanya saja, sehari setelah kau terseyum dengan mobil barumu, aku melihat matamu terluka dan kecewa, entah karena apa, kau berubah jadi murung serta banyak diam. Dan kemudian pergi begitu saja, meninggalkanku sendirian.
Bunda aku masih terlalu kecil, aku belum bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi, aku hanya terdiam disamping eyang dan papa, menatapmu berlalu, menyeret koper besar itu, tanpa berbalik arah, kau berjalan lurus kedepan, seakan kau sudah yakin itu jalan yang terbaik, adalah meninggalkanku sendirian.
Kalau ingat kejadian itu sekarang,  aku serasa ingin lari, aku ingin memelukmu, menanyakan padamu, apa yang terjadi, kenapa dan mengapa. Baru setelah itu, mungkin aku akan membiarkanmu pergi.
Bunda aku tidak marah padamu, aku tidak akan pernah marah padamu, aku tahu dan yakin, kau pasti punya alasan untuk pergi, pasti ada sebab kenapa kau berlalu, meninggalkan semuanya. Aku tahu bunda kalau kau sayang padaku, jadi itulah yang membuatku yakin, ada alasan luar biasa hebat yang membuatmu mengambil keputusan itu.
“Mbok Nem, bunda mana, kenapa tidak menyuapi Sasa, biasanya bunda yang menyuapi Sasa?” tanyaku, saat Mbok Nem menyuapiku.
“ibu pergi” jawab Mbok Nem singkat.
“kenapa ibu pergi Mbok  Nem, kenapa perginya sendirian, kenapa tidak diantar pak Mul, kenapa bunda tidak bawa mobil barunya?” aku terus bertanya dengan mulut penuh makanan, kalau ada bunda, pasti bunda akan menegurku, bunda tidak pernah mengijinkanku bicara dengan mulut penuh makanan. Toh bunda tidak ada, dan aku butuh bertanya.
 Mbok Nem, hanya diam, aku yang kembali bertanya “apakah bunda perginya lama?, apakah bunda tidak akan kembali?”
Setelah lama hening, Mbok Nem akhrinya bicara, tetapi sangat pelan “ mbak ingin bertemu dengan bunda lagi?”
“iya” jawabku lirih.
Mbok Nem duduk didepanku, kini tingginya sama denganku, dia menatapku tajam, seakan menegaskan bahwa apapun yang akan dikatakannya adalah kenyataan. yang harus aku patuhi tanpa syarat “kalau begitu, stop bicara masalah bunda dan bertanya apapun masalah bunda, kalau mbak nurut, mbak akan bertemu bunda suatu saat nanti, tetapi kalau mbak tidak nurut, mbak tidak akan bertemu dengan bunda selamanya.”
Aku hanya terdiam, tetapi sejak itu aku tidak pernah bertanya ataupun membicarakan bunda pada siapapun. Bahkan kepada Tommy, kekasihku, pujaan hatiku. Anak seorang konglomerat, rekan bisnis papi yang dijodohkan padaku.
Tomy selalu mengira, aku sangat membenci bundaku, sehingga aku tidak pernah mau membicarakan apapun tentangnya. Padahal aku melakukan ini semua, agar aku bisa bertemu lagi dengan bunda. “kalau aku diam, tidak bertanya tentang bunda, pada waktunya aku akan bertemu denganya lagi.” Itulah yang selalu aku tanamkan pada diriku. Aku harus diam.
Aku sangat ingin bercerita tentang bundaku pada semua orang, pada semua kelas yang aku lewati sejak SD hingga sekarang aku duduk di bangku kelas tiga SMA. Kalau guru menyuruhku mengarang, aku ingin sekali menulis cerita tentang bundaku. Tentang rambutnya yang indah, kulitnya yang putih dan mulus, atau tentang semua hal yang aku ingat tentangnya. Tetapi aku selalu melawan rasa itu, aku harus bertahan, kalau aku diam, tidak bicara apapun tentang bunda, aku akan menemuinya pada waktunya.
Sejak bunda pergi dari rumah itu, sejak bunda sudah tidak terlihat dari rumah itu, papa membawaku pergi, kami main ke dufan sampai siang. Papa membelikanku boneka dan aneka permen. Mencoba membuatku lupa sebuah frame hidupku tentang kepergian bunda. Pulang dari duffan, semua hal tentang bunda lenyap dari rumah ini. Semua hal, foto – foto bunda, mobil bunda, lukisan bunda. Seakan tidak pernah ada bunda dirumah ini.
Sekarang kadang aku lupa, seperti apa wajah bundaku, aku benar – benar lupa, yang aku ingat hanya, dia memiliki rambut panjang yang indah,  kulit putih dan sepasang mata yang sangat mirip denganku, hanya mata bunda yang menurun padaku. Dan satu hal lagi, kesukaanya memakai baju berwarna putih, saat dia pergi dia juga memakai baju putih, dan topi bundar lebar berwarna putih, aku ingat itu.
Papa masih sendiri, sejak bunda pergi papa masih sendirian, tidak ada wanita lain yang menikah dengannya. Tetapi beberapa kali eyang mengenalkan wanita – wanita menor itu padanya. Kenapa aku bilang menor, wanita – wanita itu dandan sangat berlebihan, tidak seperti bundaku, yang hanya berbedak tipis sudah terlihat luar biasa cantik.
Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan wanita – wanita itu, mereka galak, mereka matre sekali. Dan yang pasti mereka, tidak ada yang seperti bundaku. Sosok wanita lemah lembut, yang selalu tersenyum.
Entahlah aku tidak pernah tahu alasan papaku, kenapa dia menolak wanita – wanita itu, kalau masih ada mama di hatinya, kenapa dia membiarkan mama pergi, papa bukan anak kecil berumur tuju tahun. Papa sudah dewasa, harusnya dia mencegah bunda pergi, harusnya dia melakukan apapun, agar mama tetap tinggal.
Aku memang tidak pernah dekat dengan papa. Dia bagai sosok asing bagiku, kami serumah, tetapi kami jarang sekali ngobrol. Apalagi sejak bunda pergi, aku lebih kenal pak Mul dari pada papaku sendiri.
Kini usiaku hampir memasuki tujuh belas tahun, eyangku dan semua orang sudah merencanakan pesta megah untukku, besok malam pesta megah itu akan di laksanakan.
Tetapi malam ini, di waktu pergantian usiaku. Ritual yang sejak umur tujuh tahun selalu kulakukan, kumatikan handphoneku dan kukunci kamarku. Tidak boleh ada yang menganggu acaraku dengan bunda. Kunyalakan lilin di atas sepiring klapertat madam hiem, yang kubeli tadi, serta seduhan hangat teh melati, dua makanan kesukaan bunda. Aku duduk di lantai memeluk bantal, mendekap wajahku bila air mata mengalir dengan deras.
Setiap malam menjelang ulang tahunku, sejak sepuluh tahun yang lalu, aku selalu menanggis, aku selalu mengeluarkan perasaan yang kupendam. aku tidak pernah menangis pada malam – malam lainya, karena kalau aku menangis semua orang pasti akan tahu karena mataku bengkak dan mereka akan bertanya. Dan aku bisa – bisa melanggar janjiku dan tidak akan bertemu dengan bunda. Tetapi kalau aku menangis sekarang, aku bisa beralasan, terharu mendapat sms ucapan teman – temanku. Atau terharu akan perjuangan Tommy, yang tukang tidur, bayangkan dia bela – belain bergadang, hanya memberikanku ucapan selamat ulang tahun.
Bunda sampai kapan aku harus menungu, bunda sampai kapan aku harus diam, bunda sampai kapan aku harus memendam rasa rinduku padamu, bunda kapankah kau datang. aku membutuhkanmu.
Bunda kini aku sudah masuk SMA 70 bulungan, SMA yang sangat jauh dari rumah, aku memaksa masuk kesana, karena masih jelas dalam pikiranku. Kau pernah berkata “adek, nanti kalau sudah sma, adek masuk sma ini saja, seperti bunda”.
Banyak hal yang sudah kau lewatkan, tentangku bunda, tentang masa – masa SDku, bagaimana aku melewati enam tahun masa awal belajarku, tentang  masaSMP ku, bagaimana aku menghadapi cinta – cinta monyetku dan masa – masa SMA saat eyang mengenalkan tommy padaku, aku selalu yakin, masa – masa itu akan selalu indah bila bersamamu. Sayang masa – masa itu sudah terlewati, tidak akan bisa terulang lagi.
Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu bunda, tentang teman sekolah pertamaku, tentang pertama kali aku naksir cowok, tentang ciuman pertamaku, tentang patah hatiku yang pertama, dan tentang Tommy, cowok yang eyang pilihkan untukku, aku mau kok bunda sama Tommy, walau agak kolot, karena perjodohan eyang. Tapi Tommy, cowok yang baik dan lucu. Tidak seperti Niko mantanku dulu. Bunda tahu siapa Niko, aku akan ceritakan semuanya, nanti kalau kita bertemu, bunda harus dengar semuanya.
Aku memejamkan mataku, kutiup lilinku. Sebelum itu aku memohon satu permintaan yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu. ‘bunda, kapan kau datang’. lalu aku akan tertidur dengan nyenyak, berharap besok pagi saat aku terbangun permintaanku akan terkabulkan, bunda ada di depan pintuku, memakai gaun putih, bertopi bundar, seraya berkata ‘bunda pulang’ dengan terseyum, dan aku seperti biasa akan tertawa, melihat seyumnya.
Tapi yang aku dapatkan selalu sama, orang yang berdiri di depan pintu itu adalah Mbok Nem, dia membangunkanku, menyuruhku segera bergegas ke ruang makan, eyang dan papa sudah menunggu, mereka akan mengucapkan selamat ulang tahun padaku.
“non, ada surat untuk non” kata Mbok Nem, tidak seperti biasanya
“surat apa?” tanyaku
“penantiaan, karena non sudah melaksanakan janji” kata Mbok Nem terseyum dan berlalu padaku.
‘surat  - surat apa ini’ batinku, melihat surat beramplop putih bergaris hijau. Saat menyentuhnya aku serasa sadar, ada wanita lain yang sangat ku rindu, menyentuh surat ini sebelumnya, dari wanginya aku tahu, surat dari bunda.
Segera ku buka surat itu dengan perasaan campur aduk
Dear little barbie
Maaf bunda lama meninggalkanmu, kumohon temui bunda di taman putih segera, setelah eyang dan papamu pergi.
From Barbie
Aku sangat tajub membaca surat itu. Ini tulisan bunda, little Barbie adalah panggilan bunda untukku, sedangkan Barbie adalah bunda, kami berdua pengemar Barbie, tetapi sejak bunda pergi, semua barbieku juga pergi.
Aku bahagia , hari yang kunanti akhrinya tiba, segera kucuci mukaku. Dan segera turun.
“kau bahagia sekali hari ini” kata papa yang melihatku tidak berhenti tersenyum.
“ini kah sweet seventeenku” bohongku.
“eyang sudah, membelikanmu kado spesial” kata eyang padaku.
“papa juga, kau ingin Toyota fortuner untuk ulang tahunmu kan, siang nanti akan ada yang mengantarkannya” papa bicara dari balik korannya.
“aku sangat bahagia sekali, aku senang sekali, terima kasih” kataku seolah – olah aku bahagia akan semua itu.
Segera setelah eyang dan papa pergi, aku  segera berlari ke atas, kuambil baju terbaikku dan pergi ke taman putih, sebuah taman di ujung jalan, yang dulu selalu menjadi tempat bermainku, disana ada banyak bunga berwana putih, aku dan bunda menjulukinya taman putih.
Aku berjalan dengan penuh semangat, banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan bunda, bahkan kalau perlu aku akan lari dengannya.
Aku masih ada di ujung jalan, ketika mataku menemukan seseorang duduk di salah satu bangku taman, dari jauh aku hanya melihat dia memakai topi bundar berwarna putih. Bunda……!!! Aku berjalan dengan cepat, tidak sabar menemuinya, sudah sepuluh tahun aku menunggunya.
Aku tidak tahu sebuah truk lewat saat aku menyebrang, salahku bila pak sopir tidak bisa mengerem. Dan semuanya gelap.
Di bangku taman itu, Mbok Nem duduk dengan gusar, dia memakai baju putih dan topi bundar, pak Mul memberinya semangat dari bangku sebelah kanan tidak terlalu jauh dari Mbok Nem duduk. Hari ini sudah saatnya mbak Sasa tahu akan semuanya, bunda Risa, ibu mbak Sasa, berjanji akan menemui anaknya hari ini, saat usianya sudah memasuki tujuh belas tahun.
Sebuah surat sudah di titipkan pada Mbok Nem. “berikan pada Sasa” kata bunda Risa, sesaat sebelum dia pergi dari rumah ini.
Sasa anak yang penurut, dia mematuhi aturan untuk tidak bertanya tentang bundanya, tetapi tidak dengan bunda Risa, dia terlalu gegabah, tetapi memang sulit di salahkan, cinta ibu pada anaknya memang susah di jabarkan. Dua tahun yang lalu dia ditemukan meninggal gantung diri di kamar kontrakannya. Aku dan pak Mul yakin dia di bunuh, tetapi tidak ada yang mau menyelidiki kasus ini. Semua orang bilang, bunda Risa bunuh diri. Mana mungkin, bunda Risa selalu bermimpi bertemu anaknya, delapan tahun dia memendam rasa itu. Akhrinya menyerah dan bunuh diri.
Mbok Nem dan pak Mul, mencoba menghindar, agar mereka bisa melakukan apa yang bunda Risa inginkan. Hari ini dia akan member tahu Sasa, makan bundanya. Dan tentang nyawa, Mbok Nem dan pak Mul sudah tidak takut pada moster tua itu. Mereka bertahan hanya untuk hari ini.





You Might Also Like

1 fans bilang

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe