[cerpen] anakku berumur 13 tahun

23.13.00





“semakin sulit suatu kebaikan diraih, maka semakin besar pahala yang didapat” kata – kata ustadz ilham, yang selalu kuingat dengan jelas. Inilah yang menjadi motivasi diriku menjalani kerasnya hidup, tinggal di negeri non muslim ini, belanda.
Sudah 5 tahun aku  menetap dibelanda, meninggalkan negeri yang kucinta, mengikuti suamiku yang melanjutkan sekolah dinegeri yang menjajah Indonesia ini.  di negeri yang bisa dibilang tidak nyaman untuk kaum muslim.
Sebenarnya tahun lalu, kami sudah harus kembali ke Indonesia. Sekolah suamiku sudah bisa dibilang tamat. Dia sudah mendapatka gelar Phd-nya. Sebuah gelar yang sangat diinginkannya. Sebuah tawaran pekerjaan yang menjanjikan membuat kami urung meningalkan negeri ini.
Dalam hidup kami memang harus idealis, tapi juga nggak mengeyampingkan kerealitisan. Kembali ke Indonesia dengan gelar doctoral dari belanda, tidak menjamin suamiku langsung mendapat kerja, kita tahu sendiri bagaimana system perekrutan kerja di Indonesia, sedang disini dia mendapatkan tawaran yang mengiurkan.
Walau aku sudah membayangkan kembali ketanah air, merasakan kembali udara Indonesia. Bahkan daftar makanan yang akan aku makan, setelah mendarat di tahan air, sudah aku pikirkan. Oleh – oleh untuk keluarga dan sahabat - sahabat sebagian sudah dibeli.
Tapi aku mengiyakan dengan senyum tersunging tipis saat mas akbar suamiku berkata “ummi, abi dapat tawaran kerja disini, bagaimana kalau kita stay disini” mana bisa aku menolaknya yang terseyum sumringah. Toh semua ini juga untukku dan kedua buah hati kami, pikirku kala itu.
“wanita yang baik itu, yang seperti bunglon, bisa menyesuaikan diri apapun situasinya, untuk anak dan suaminya” kata – kata eyang uttyku masih jelas kuingat Dan itulah yang akan aku lakukan. Mengagalkan semua rencana yang aku susun saat kami sudah ada di indonesia, dan mengantinya dengan rencana berada dibelanda, mulai dari mencari rumah sampai menyiapkan masa depan kedua buah hatiku.
Semua orang merasa aku beruntung bisa tinggal dibelanda, tapi kalau di ingat awal – awal aku tinggal dibelanda, rasanya seperti nightmare, saat itu mas akbar suamiku sedang mengambil kuliah S2-nya, saat itu juga sudah ada alia dan malik yang masih sangat kecil. Dengan nilai beasiswa yang tidak seberapa, membuat kami berdua aku dan mas akbar harus mencari kerja sambilan.
Aku masih jelas ingat bagaimana aku harus hidup jatuh bangun, bagaimana aku harus menekan egoku, dimana gelarku dari Indonesia tidak diakui disini, menyebabkan pekerjaan yang kuterima adalah pekerjaan kasar. Bagaimana aku harus bekerja seharian dengan tenaga, meninggalkan malik yang berada dipenitipan anak, dan alia yang sekolah sd sampai sore.
Di Indonesia aku bisa sangat santai, mas akbar menyediakanku 2 orang asisten. Seorang menjaga alia, seorang lagi mengurus rumah, mulai dari memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Sedang dibelanda, aku yang harus mengurus semuanya, hampir sendirian mengurusnya, mas akbar sangat sibuk dengan penelitiannya, aku tidak ingin mengangunya, walau dia sesekali membantu perkerjaan rumah, sedang kedua anakku masih sangat kecil.
Sekarang sudah sedikit berbeda, gaji suamiku sudah lebih cukup menghidupi kami semua, sehingga aku tidak perlu bekerja, dan kemarin mas akbar, menawarkan apakah aku ingin sekolah lagi. malik sudah besar sekarang, dia sudah masuk sd dan alia sudah akan smp. Sehingga mereka dengan senang hati membantu pekerjaan rumah. Rasanya semua sudah mulai berbeda, sedikit lebih menyenangkan. Walau tantangan kedepan pasti akan lebih berwarna.
 “ummi, alia mau minta ijin hadir dipesta perpisahan sekolah” kata putri pertamaku. Kontan hatiku tersontak, kepalaku pening sekali. Ini adalah warna pertama yang sudah aku prediksi.
Udara yang sudah mulai terasa dingin, di awal menjelang musim gugur, tidak aku rasakan lagi, dadaku serasa mengepul. Alia anaku baru berumur 12 tahun. Dia akan lulus sekolah dasarnya. Dan sebuah pesta perpisahan akan diadakan.
Tidak ada yang salah bukan. Ya, kalau berada di Indonesia memang tidak ada yang salah, entah alia masuk sekolah negeri atau sekolah swasta islami. Tapi kami ada dibelanda.  
Kalau alia sekolah di Indonesia, aku pasti akan mengiyakannya tanpa berfikir panjang. Bilang hati – hati pun mungkin tidak. Apa yang bisa dilakukan anak SD dalam perpisahan sekolah mereka. Paling hanya makan – makan, anak – anak tampil dengan band seadanya mereka. Dan guru – guru akan mengawasi mereka, dan Alia akan dijemput dan diantar abinya.
Tapi kami ada di belanda,  di negeri yang menerapkan kebebasan diatas segalanya. Pesta perpisahan itu pasti bukan seperti pesta perpisahan anak sd di Indonesia. Alia sudah berumur 13 tahun, itu artinya dia bisa membeli kondom untuknya sendiri, yang dijual bebas dipesta perpisah anak sd itu. Hal ini aku ketahui dari peraturan yang pernah aku baca, tetang batasan pembeli kondom adalah berusia 13 tahun.
Belum lagi dengan acohol yang bebas diminumnya disana. belum lagi dengan ganja yang dinyatakan boleh, silahkan ambil, dan dijual bebas seperti permen lolypop di Indonesia. Aneka pikiran bersatu dalam otakku, bagaimana mungkin aku mengiyakannya. Bagaimana mungkin aku mengiyakan anakku melakukan kerusakan.
Hari ini, hari dimana alia akan bertanya tentang kehadirannya dipesta semacam ini, sudah aku prediksi sebelumnya. Aku hanya merasa, waktu berjalan amat cepat, andai bisa meminta hal mustahil, pasti aku ingin kedua anakku selamanya berusia anak – anak. aku belum siap melihat mereka dewasa dengan segala macam probelamtika mereka.
“menurut abi bagaimana” aku berkata ditelepon pada suamiku yang sedang dinas di Madrid, spanyol. Pada alia aku masih menjanjikan jawaban.
“ummi yang lebih tahu, mana yang lebih baik untuk anak – anak” kata suamiku yang terdengar kelelahan.
“tapi….” Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku, airmataku sudha duluan menetes deras.
“ummi” suamiku berkata lirih “besok abi pulang, kita bicarakan dirumah, lebih baik ummi tidur dulu, jangan dipikirkan. Kita akan hadapi berdua” dia mencoba menyemangatiku dan aku menuruti kata – katanya dengan segera tidur.
“eh jeng tahu nggak, anaknya bu melly, si ratna itu, diakan hobby gonta – ganti pacar, masak sih jeng melly membiarkan anaknya tidur dengan pacar – pacarnya dirumah” seru seorang ibu, pada pertemuan dikbri kemarin.
“masak, dari mana ibu tahu?” Tanya yang lainnya, aku terpaksa mendengarkan karena terjebak duduk bersama mereka.
“kemarin, saya menginap dirumah jeng melly, bantuin bikin kue, saya lihat sendiri, si ratna membawa masuk kamar, cowoknya, paginya saya perhatikan mereka keluar kamar, seperti itu”
seperti itu? Memangnya seperti apa?” dan percakapan selanjutnya aku tidak benar – benar dengar, pikiranku berlari sendirian, mengabungkan memori – memori yang tersimpan. Aku masih jelas ingat jeng melly yang disebut adalah temanku, dia sudah tinggal sangat lama di belanda. Suaminya dulu senior suamiku saat kuliah diindonesia. Dan saat dibelanda jadi seniornya lagi. Kami dulu lumayan akrab, sekarang agak jauh karena kesibukan masing – masing.
Aku masih jelas ingat kata- kata jeng melly, yang berkata sambil menangis menceritakan anaknya yang sering gonta – ganti pacar, dan dia sudah tidak bisa menasehati, pengaruh lingkungan lebih besar dari pada orang tua. Dan dia “terpaksa” membiarkan anaknya membawa laki – laki dirumah mereka “paling tidak mereka melakukannya dirumah, tidak diluaran” kata jeng melly menangis histeris padaku. Kala  itu aku hanya mangut – mangut.
Sejak mendengar cerita itu aku menjadi was – was, aku juga memiliki anak perempuan. Belum lagi aneka cerita horror lainya yang kini terbayang – bayang dibenakku, seperti saat aku berkunjung merespon undangan makan malam disalah satu pasangan belanda sahabat suamiku.
Masih jelas dalam ingatanku, si ibu dan ayahnya berkata dengan lantang “sekarang anakku sudah menjadi lelaki sejati”
Usut punya usut yang dimaksud lelaki sejati, bukan anak anda sudah disunat atau apa, tapi dia sudah melakukan hubungan suami istri dengan pacarnya, dan well anak itu belum genap berusia 13 tahun.
Seketika aku dan suamiku saling berpandangan ngeri, malik anak lelakiku yang baru berumur 3 tahun kudekap erat, inginnya aku menjerit, tidak akan aku biarkan anakku nanti seperti itu, tapi bisakah aku?. Dinegeri yang hancur moralnya seperti ini.
“karena mereka orang belanda sayang” mas akbar berkata saat kami sudah berada dirumah.
“dan kita tinggal dibelanda” dan kami terdiam mencoba berfikir dalam kamar gelap setelah kejadian itu. Aku dan mas akbar berusaha memberikan pendidikan agama yang lebih, dalam artian kami harus belajar lagi, mengetahui bagaimana dunia anak – anak di kota serba bebas ini. Dan karena alasn mas akbar suamiku sibuk bekerja untuk kami, akulah yang menghandle semua.
“bagaimana ummi?” Tanya alia padaku, menangih “sarah dan yang lainnya sudah bertanya kami akan pakai apa, kita mau kembaran?”
Aku yang sedang menyiapkan makan pagi, terdiam, teringat akan kisah hilangnya keperjakaan anak keluarga van thesen yang baru berumur 13 tahun. Aku mencoba menyalahkan system pengajaran disekolah, anak SD sudah mendapatkan pelajaran tentang seks. Mereka bilang itu perlu, agar tidak ada penyakit atau lainya, walau dalam hati aku nyeletuk, perasaan aku nggak perlu pendidikan seperti itu, buktinya aku tidak ngapa – ngapain dan bisa dibilang aku bisa – bisa menjadi istri dan ibu, sekarang anakku ada 2.
Seharusnya memang aku tidak kaget, kumpul kebo sudah menjadi hal wajar disini. tapi anak umur 13 tahun melakukan hubungan suami istri pertama dengan pacarnya dan kedua orang tuanya tampak bangga. Membuatku dan mas akbar benar – benar syok sampai sekarang. Apalagi kami juga akan mempunyai anak berumur 13 tahun sekarang.
“ummi, bagaimana?” kata alia menghentikan lamunanku.
“kita tunggu abi pulang yach, hari ini abi pulang” kataku meyerahkan tanggung jawab pada abinya.
“baiklah, kalau begitu aku akan beritahu teman – temanku” dia berkata tenang lalu menelepon.
Aku duduk didapur ingin menangis, menangisi kegagalanku sebagai ibu. Bagaimana aku menjaga buah hatiku, pakaian yang mirip dengan temannya. Seketika aku menangis. Alia akan memakai baju apa, apakah gaun pendek yang mengoda seperti yang lainnya. bagaimana aku memberi tahunya pakaian yang benar, apakah dia memilih mendengarku dari pada, kawan – kawannya.
Putriku alia  bisa dibilang gadis yang menarik. Walau dia tidak pirang, tidak berkulit putih. Dia memiliki sifat yang periang, mudah bergaul dan sangat suka menolong, mewarisi sifat abinya. Sudah berkali – kali dia menerima bunga, coklat atau surat cinta dari fans – fansnya, entah sejak kelas berapa. Gadis cantikku, sebentar lagi pasti akan menjadi gadis dewasa. Mendapatkan haid pertamanya. Dan entahlah bagaimana aku bisa menjaganya.
“masalahnya bukan belanda atau Indonesia ummi” kata suamiku sesaat setelah dia pulang, aku harus berdiskusi dengannya sebelum alia pulang “banyak remaja di Indonesia yang sudah melakukan itu, dan banyak yang hamil diluar nikah, jadi bukan masalah negara”
“iya” kataku datar, banyak sekali berita di Indonesia yang seperti itu. Aku sering mendengarnya dulu saat masih di Indonesia dan aku pernah menangis meraung karena masalah itu. Saat itu usia pernikahanku dengan mas akbar memasuki tahun ketiga, dan kami belum juga dikarunia momongan. Tiada henti kami berdoa memohon karunianya. Bagaimana tidak miris kami yang menanti dengan harap belum juga diberikan anugerah seorang buah hati, disisi lain  banyak orang yang membuang bayinya.
“ummikan sudah mengajarkan banyak hal pada alia”
“tapi diluar dia juga belajar banyak hal, dan ummi takut”
“sudahlah ummi, abi rasa alia adalah anak yang cerdas, abi yakin dia bisa memilih mana yang baik dan buruk
“tapi kita tidak tahu, bagaimana pesta perpisahan disini, bagaimana  kalau dia minum acholol, bagaimana kalau dia mencoba ganja, bagaimana kalau dia berhubungan suami istri dengan seorang cowok….Aku menarik nafas dalam sebelum melanjutkan bicara “dengan seorang cowok yang masih SD”
Mas akbar mengeser duduknya, dia duduk disampingku, memelukku erat sebelum bicara “kalau begitu katakan yang boleh dan tidak boleh”
“mas yakin?”
“insya alloh” katanya terseyum “maafkan aku yang membawa kalian kemari” katanya memelukku. Sejak pindah ke belanda aku sudah berusaha tidak akan menghilangkan adat ketimuran dalam keluarga kami. setiap malam aku selalu menceritakan mereka akan kisah – kisah islami. Aku belikan aneka buku islami. Aku berusaha mereka memegang agama dengan baik. Tapi aku tidak tahu seberapa besar mereka menyerapnya, walau selama ini anak – anakku terlihat sangat baik.
“benarkah abi” kata alia girang saat suamiku memberikan restunya, aku memilih diam membisu di ujung sofa, hatiku serasa tidak rela “alia janji akan menjadi anak yang baik, alia akan makan banyak dirumah sebelum berangkat, agar disana tidak lapar mata, disanakan makannya nggak halal” alia berbicara nyerocos, sebelum suamiku memberikan peraturan boleh dan tidak bolehnya. Aku dan mas akbar  saling memandang dari sudut berbeda.
“apakah abi mau mengantarku? Aku nggak mau pergi dengan cowok, kan nggak boleh yach ummi kita pergi berduan sama cowok” katanya memandangku, segera aku terseyum lebar. Perasaanku sedikit tenang.
“aku akan bawa air putih sendiri ummi, oh tidak, aku bawa orange jus saja. Kita kan nggak boleh minum – minuman beracholol, jadi kurasa aku akan bawa tas besar untuk orange jus yang banyak
Mas akbar terseyum padaku, kami memilih diam membiarkan alia berbicara “dan aku nggak akan ngapa – ngapain dengan cowok, zina kan dilarang ummi” dia menatapku lagi, disela – sela sandwid yang dimakannya.
“wah – wah alia anak yang pandai sekali, abi bangga” suamiku yang akhirnya bicara lebih dulu, dari pada aku yang syok karena bahagia.
“kan diajari ummi.” Alia menatapku girang “setiap malam kami selalu cerita banyak hal, ummi menjelaskan mana hal yang dicintai alloh, mana hal yang dibenci alloh
Aku akhirnya bisa tersenyum lepas “ kalau bagitu, kita siapkan bajunya, katanya mau kembar dengan teman - temanmu” aku menghapus airmataku sebelum berdiri.
“mereka memakai baju coklat ummi, aku sudah punya baju batik coklat dan rok coklat, emh yang belum aku tahu, dimana jilbab coklatku”
“kau akan memakai jilbab”
“tentu saja, jilbab adalah pakaian dari alloh”
“nanti ummi carikan”
baiklah kalau begitu, aku ingin membaca buku yang baru ummi berikan sambil menjaga malik” katanya berlari kekamar malik yang terdengar sudah bangun “abi pasti masih kangen sama ummikan” katanya mengerling manja pada kami.
“tuchkan ummi, siapa dulu yang menjelaskan” kata mas akbar menatapku bangga.
“alhamdulilah mas” kataku menangis bahagia.
“tantangan didepan akan lebih berwarna ummi, dan kita akan hadapi bersama” katanya menghapus air mataku, aku hanya mengangguk mantab.
(Amsterdam belanda 2009)

You Might Also Like

0 fans bilang

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe